Rakatalenta.Com™, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meradang. Kasus mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq diangkat sebagai salah satu soal ujian dalam mata pelajaran. Hal itu dinilai tidak patut, bahkan disebut norak.
Dalam soal multiple choice atau pilihan ganda di nomor 50 mata pelajaran Bahasa Indonesia berbunyi:
Upaya KPK menyita mobil mewah mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, kemarin gagal. Kalimat tersebut dapat diringkas dengan menghilangkan pernyataan di bawah ini, kecuali;
a. Menyita mobil, b. Luthfi Hasan Ishaaq, c. Kemarin, d. Mantan, e. Gagal.
Soal itu merupakan salah satu yang diujikan untuk pelajar siswa kelas XI SMK di Bogor.
"PKS
menyesalkan adanya soal demikian. Kasus ini tidak patut dijadikan
Contoh bahasan soal. Apalagi Bahasa Indonesia," ujar Jubir PKS Mardani Ali Sera kepada merdeka.com, Rabu (19/6).
PKS,
lanjut Mardani meminta semua pihak bijak dalam menyikapi kasus yang
membelit Luthfi Hasan. "PKS akan menyelidiki pihak-pihak yang terlibat
dalam proses pembuatan soal ini," imbuhnya.
Sementara Wakil Sekretaris Jenderal PKS Fahri Hamzah,
tertawa menyikapi kasus tersebut. Tak ada yang spesial dengan soal
tersebut, dia menyebut kesalahan ada pada guru. "Enggak usah lah.
Gurunya, ilmu bahasanya kurang," kata Fahri di Kompleks Parlemen,
Senayan Jakarta, Rabu (19/6).
Namun Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq
berpendapat lain. Dia mengatakan munculnya kasus tersebut adalah hal
norak dan tak mendidik. "Ini norak, yah saya enggak mengerti. Tapi
secara pendidikan, ini tidak mendidik apalagi dia mengambil contoh dari
satu kasus yang proses hukumnya sedang berjalan," kata Mahfudz di tempat
yang sama.
Mahfudz menanggapi santai kasus tersebut. Dia
menilai, pihak yang membuat soal ujian itu tak mengerti hukum. "Enggak
gugat, kalau sekolah digugat kasihan saja cuma sekolah yang bertindak.
Bodoh itu," terangnya.
Sementara Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim
malah mengatakan PKS akan merespons serius soal ujian itu. "Saya sudah
menugaskan tim, untuk mempelajari aspek pelanggaran hukum dan
pidananya," ujarnya.
Sebelum persoalan kasus Luthfi yang diangkat
menjadi salah satu soal dalam ujian ini, beberapa kali dunia pendidikan
digegerkan dengan masuknya muatan-muatan yang tidak pantas dalam materi
ujian.
Sebelumnya pernah ada buku pelajaran Pendidikan
Lingkungan dan Budaya Jakarta anak kelas 2 SD di SD Angkasa IX Halim
Perdanakusuma menuai protes orangtua murid. Ada cerita kisah 'Bang Maman
dari Kali Pasir' yang isinya menceritakan istri simpanan.
Yang
paling miris, ada juga gambar bintang porno asal Jepang Miyabi yang
mejeng di Lembar Kerja Siswa (LKS) Bahasa Inggris kelas III SMP di
sejumlah sekolah di Jawa Timur. Foto Miyabi tersebut muncul di halaman
36 di antara beberapa foto artis Indonesia dan foto fauna.
Sejumlah
kalangan meminta agar buku itu ditarik. Mereka prihatin, jika buku itu
dijadikan bahan LKS, mereka khawatir hal itu berimbas pada moral anak
didik walaupun di dalam buku itu hanya terpampang foto saja.
Menanggapi
maraknya soal-soal mata pelajaran yang tidak sesuai itu, anggota Komisi
X DPR Ahmad Zainuddin mengatakan pemerintah tidak memiliki grand design
yang jelas dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa. Hal itu
tercermin dalam setiap perubahan kurikulum, implementasi karakter bagi
pendidik dan peserta didik selalu terabaikan.
Zainuddin
menjelaskan bahwa pola kecurangan yang terjadi dalam setiap proses
penilaian dan ujian siswa sudah sangat mengkhawatirkan. "Dan selama ini
yang sering disalahkan adalah siswa dan guru, padahal hal itu bisa
terjadi salah satunya dikarenakan oleh sistem pendidikan kita yang
amburadul. Ini semua tidak lepas dari kurangnya keteladanan di dalam
sistem pendidikan," ujarnya kepada merdeka.com.
Menurut
Zainuddin, sekolah atau pun oknum dari tim pembuat soal ujian seperti
pada pelajaran Bahasa Indonesia seharusnya tidak menjadikan soal ujian
yang terkait kasus penyitaan mobil Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK sebagai soal UKK.
Pasalnya,
Zainuddin menilai hal tersebut dapat menyesatkan opini yang berkembang
di masyarakat khususnya para siswa. "Seolah-olah ada diskriminasi dan
penggiringan opini untuk mendiskreditkan PKS. Lagi pula kita harus
menghormati proses hukum yang berjalan terkait kasus tersebut karena
masih dalam proses peradilan dan belum ada putusan majelis hakim tentang
kasus hukumnya sendiri," jelas anggota Fraksi PKS ini.