Rakatalenta.Com™, Maha suci Allah yang telah menjadikan
bangsa di nusantara ini beragama Islam, yang tumbuh kembangnya dibangun
oleh para ulama dan juru dakwah terdahulu, melalui strategi akomodasi
terhadap budaya local yang sudah berurat berakar di tengah-tengah
masyarakat. Cara yang mereka lakukan adalah, jika suatu tradisi masih
bisa dicari benang merahnya dengan syari’ah baik secara utuh atau secara
global, maka ditolerir. Sedangkan tradisi yang bertentangan
dengansyari’ah itu ditinggalkan. Kearifan seperti inilah yang menjadikan
umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas dan gidup berhiaskan
kedamaian yang ditopang dengan keimanan yang tak tergoyahkan. Walaupun
dijajah selama 350 hahun, iman dan Islam mereka tetap terpatri di dada
“laksana karang di tengah lautan yang tak goyah oleh deburan ombak yang
dahsyat sekalipun”.
Memang, idealnya setiap amaliah yang
berbentuk ibadah mahdlah itu harus ada nash (teks) dari al-Qur’an atau
al-Hadits, bukan tafsir, ta’wil, atau qiyas. Namun karena keterbatasan
nash, sementara kasus dalam ibadah maupun muamalah it uterus berkembang
sepanjang zaman, maka akhirnya tidak dapat dihindari untuk menggunakan
tafsir, ta’wil, atau qiyas. Kata al-Syahrastani:
وبالجملة: نعلم- قطعا ويقينا- أن الحوادث والوقائع فى
العبادات والتصرفات: مما لا يقبل الحصر والعد: ونعلم –قطعا ايضا- أنه لم
يرد في كل حادثة نص, ولا يتصور ذلك أيضا: والنصوص اذا كانت متناهية,
والوقائع غير متناهية وما لا يتناهي لا يضبطه ما يتناهى … علم قطعا أن
الاجتهاد والقياس واجب الاعتبار حتي يكون بصدد كل حادثة اجتهاد
(الشهرستانى, الملل والنحل, جز 1: 164)
Secara umum, kita dapat mengetahi
dengan pasti dan yakin, bahwasannya peristiwa-peristiwa dan kasus-kasus
dalam bidang ibadah atau muamalah, tidak terhitung dan tidak terbatas.
Kita juga tahu secara pasti bahwa tidak semua kasus ada teksnya bahkan
ini tak terpikirkan. Ketika teks-teks itu merupakan sesuatu yang
terbatas, sementara fenomena social tidak terbatas, maka sesuatu yang
tidak terbatas itu tidak bisa tercakup semua oleh yang terbatas. Tentu
sudah menjadi keharusan untuk melakukan ijtihad dan qiyas. Sehingga
dapat dipastikan ak an ada ijtihad dalam setiap persoalan (dari para
ahlinya)
(al-Milal wan Nihal, juz I: hal 164)
Sangat sulit menghadapi kondisi yang terus berubah serta situasi
masyarakat yang tidak sepenuhnya sama dengan keadaan para sahabat di
masa Nabi, apabila kita mengamalkan agama secara sempit, dengan hanya
melakukan bentuk ibadah yang ada teksnya secara jelas dan terperinci
dalam data yang tertulis, maka akan terjadi stagnasi dalam kehidupan
beragama. Akibatnya, agama akan ditinggalkan dan hanya akan menjadi
hiasan kecil di pojok-pojok sempit kehidupan social.
Celah yang dapat dimasuki addalah menggunakan dalil-dalil al-Qur’an
dan al-Hadits yang bersifat umum, sedangkan bentuk amaliahnya
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Dengan pendekatana seperti ini,
umat Islam dapat “berkreasi” untuk menancapkan ajaran Islam di tengah
masyarakat semberi memperhatikan kondisi social setempat.
Dengan
catatan, bebagai macam tradisi khususnya dalam ibadah dapat dibenarkan
selama masih memiliki sandaran hokum dari dalil-dalil agama. Inilah yang
kemudian disebut dengan bid’ah hasanah.
Contoh ya g paling sederhana ialah pelaksanan shalat tarawih di
Masjidil Haram pada setiap bulan Ramadlan yang dipancarkan ke seluruh
dunia melalui chnnel televisi. Bila ditelusuri secara mendetrail, dalam
beberapa poin pelaksanaannya itu tidak ada tuntunan langsung dari
Rasulullah (al-Hadits). Di antara point-point itu adalah:
- Pelaksanaan shalat tarawih setiap malam sebulan penuh di bulan
Ramadlan, padahal Rasulullah hanya melaksanakan dua malam, sebagaimana
riwayat al-Bukhari juz I, hal 180 [1077].
- Pelaksanaan shalat trawih di belakang seorang imam, sementara dalam
riwayat al-Bukhari juz II, hal 707 [1906] pelaksanaan shalat tarawih ada
yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang berjama’ah.
- Usai membaca al-Fatihah, Imam tarawih membaca satu juz al-Qur’an
dibagi 20 rakaat dan dilantunkan denganirama yang melankolis, dalam satu
bulan genap 30 juz. Hal ini tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah
maupun para shabat RA.
- Membaca doa khatmil Qur’an dalam qunut pada tanggal 27 atau 29
Ramadlan secara tetap dan lebih panjang darpada yang dibaca Nabi, bahkan
lebih lama dari pada durasi ruku’ dan qiyam dalam satu rakaat. Masalh
ini juga tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabanya RA.
Berbagai macam amaliah tersebut tidak satupun memiliki dalil yang
jelas dari al-Qur’an dan al-Hadits. Apakah kemudian menjadi haram?
Jawabannya tentu tidak. Dalam keyakinan kaum ASWAJA, amaliah tersebut
tidak bisa disalahkan, karena masih ada rujukan dari dalil-dalil yang
bersifat umum. Dalam contoh membaca doa khatmil Qur’an misahnya,
pelaksanan dengan menentukan waktu di dalam shalat tarawih pada tanggal
tertentu itu tidak ada tuntunannya, namun ada dalil yang bersifat umum
yang mensunnahkan untuk membaca doa setiap khtmil Qur’an.
Sehingga hal
tersebut bukan termasuk bid’ah yang dilarang, karena masih dalam
kategori bid’ah hasanah (Manhaj al-Salaf fi Fahmi al-Nushush, hal. 379).
Jika sebagian kelompok ada yang tidak mengakui adanya bid’ah hasanah,
maka mereka harus berani mengatakan bahwa bentuk pelaksanaan shalat
tarawih I Masjid al-Haram, itu haram dan termasuk bid’ah yang sesat dan
masuk neraka karena tidak pernah diajarkan secara langsung oleh Nabi.
Maka demikian pula dengan beberapa tradisis yang telah diamalkan
secara turun-temurun di tengah masyarakat, yang kemudian menjadi cirri
khas dan pembeda antara Islam Nusantara dan Islam lainnya. Berikut ini
uraian argunen beberapa tradisi dan ibadah di bulan Sya’ban dan bulan
yang diamalkan oleh mayoritas masyarakat Indonesa.
Tradisi Masyarakat di bulan Sya’ban;
- 1. Shalat pada Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Sya’ban)
Salah satu tradisi yang diamalkan oleh masyarakan adalah shalat pada
malam nishfu Sya’ban dan dilanjutkan dengan doa bersama. Tradisi ini
berkembang sejak generasi salaf, kalangan tabi’in. dalam hal ini
al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali berkata:
وقال الشافعي: بلغنا أن الدعاء يستجاب في خمس ليال, ليلة
الجمعة والعيدين وأول رجب ونصف شعبان. قال وأستحب كل ما حكيت في هذه
الليالي ولا يعرف للامام أحمد كلام في ليلة نصف شعبان ويتخرج في استحباب
قيامها عنه روايتان من الروايتين عنه في قيام ليلتي العيد فانه في رواية لم
يستحب قيامها جماعة لأنه لم ينقل عن النبي وأصحابه واستحبها في رواية لفعل
عبد الرحمن بن الأسةد وهو من التابعين فكذلك قيام ليلة النصف لم يثبت فيها
شيء عن اليبي ولا عن أصحابه وثبت فيها عن طائفة من التابعين من أعيان
فقهاء أهل الشام.
(ابن رجب الحنبلي, لطائف المعارف, ص: 264)
“al-Syafi’I berkata: “telah sampai kepada kami bahwa doa akan
mudah dikabulkan pada lima malam, yaitu malam Jum’at, malam dua hari
raya, malam tanggal satu Rajab dan malam nishfu sya’ban.” Al-Syafi’I
berkata, “aku menganjurkan semua yang diriwayatkan pada kelima mala
mini.”. sementara tidak ditemukan pernyataan dari Imam Ahmad mengenai
malam nishfu sya’ban. Tetapi kesunnahan ibadah (shalata dan semacamnya)
pada malam itu dapat dianalogikan dengan dia riwayat dari Imam Ahmad
mengenai ibadah pada malam hari raya. Dalam satu riwayat, Imam Ahmad
tidak menganurkan ibadah (shalat) berjamaah pada malam hari raya karena
tidak ada riwayat dari Nabi dan para sahabatnya, tetapi ada riwayat lain
dari Imam Ahmad yang mensunahkan shalat berjama’ah pada malam hari raya
karena Abdurrahman bin al-Aswad – ulama dari kalangan tabi’in; – telah
melakukannya. Demikian pula, shalat nishfu sya’ban tidak ada riwayat
dari Nabi dan para sahabat, tetapi ada riwayat dari sekelompok tabi’in
dari tokoh-tokoh fuqaha penduduk Syam yang melakukan shalat sunnah
secara berjamaah.” (Ibn Rajab, Lathif al-Ma’arif; hal. 264)
- 2. Doa Nishfu Sya’ban
Tradisi ini biasa diamalkan oleh masyarakat pada malam nishfu sya’ban ialah membaca surah yasin tiga kali diiringi dengan doa.
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, sebagian besar redaksi
doa tersebut berasal dari sahabat Ibnu Mas’ud sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam kitab al-Mushannaf dan Ibnu Abi al-Dunya
di dalam kitab al-Du’a (Madza fi Sya’ban, hal 100-101).
- 3. Ziarah Kubur
Secara umum, budaya menyekar atau ziarah kubur baik di akhir bulan
sya’ban ataupun di akhir bulan Ramadlan itu termasuk dari pelaksanaan
terhadap anjuran umum untuk ziarah kubur sebagaimana tersebut dalam
hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها (رواه مسلم , رقم 594)
“Rasulullah bersabda: aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”. (HR. Muslim [594]).
Anjuran berziarah kubur dalam hadits ini bersifat umum, tanpa ada
pengkhususan subyek, obyek dan waktu. Pada hadits ini Nabi tidak
menuebutkan kepada siapa perintah itu dituju, kepada kuburan siapa
dianjurkan berziarah, dan kapan waktu ziarah yang dianjurkan. Juga tidak
ada larangan dari Nabi untuk menyebutkan istilah ziarah kubur itu
dengan bahasa local semisal menyekar atau dengan istilah yang keren wisata ziarah dan lain sebagainya.
Menurut Imam al-Nawawi, hokum ziarah kubur itu sunah bagi laki-laki.
(al-Majmu’ li al-Nawawi, juz 5, hal. 281). Dan kata al-Tirmidzi,
perempuan juga diperkenankan untuk ziarah kubur. (al-Tirmidzi [976]).
Ada pendapat yang lebih ekstrem yaitu pendapat dari Ibnu Hazm sebagai
berikut:
قال ابن حزم ان زيارة القبور واجبة ولو مرة واحدة في العمر لورود الامر به (العسقلانى, فتح الباري, ج 3. ص. 188)
Kata Ibnu Hazm wajib ziarah kubur walaupun sekali seumu hidup, karena adanya peerintah tentang hal itu. (Fathu al-Bari juz 3, hal: 188)
Pada kuburan siapa saja kita dianjutkan untuk menziarahinya karena
hal itu dapat mengingatkan kita pda kematian. Khususnya makan orang tua
atau leluhur, dan keluarga kita. Di dalamnya ada nilai ganda selain
untuk mengingatkan kematian, juga untuk mendoakan dan mengenang mereka,
sehingga kita tidak menjadi “kacang yang lupa akan kulitnya”.
Nabi telah memberikan contoh berziarah ke makam ibundanya, sebagaimana dalam hadits berikut ini:
عن أبى هريرة قال زار النبي قبر أمه فبكى وأبكي من حولو (رواه مسلم رقم 2304)
“dadri Abi Hurairah, berkata bahwa Rasulullah berziarah ke kuburan
ibundanya dan beliau menangis serta membuat orang di sekitarnya
menangis” (HR. Muslim.[2304]).
Untuk ziarah kubur juga tidak terbatas. Setiap saat anjuran itu tetap
berlaku, siang atau malam hari. Tidak ada waktu haram untuk ziarah
kubur. Di sisi lain, menentukan waktu-waktu tertentu yang dianggap
sebagai moment yang tepat untuk berziarah kubur juga tidak dilarang. Hal
ini penah dicontohkan oleh Nabi ketika berziarah ke makam baqi’ pada
malam nishfu sya’ban karena malam itu adalah waktu yang mulia. Al-Hafidz
Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan:
وفي فضل ليلة نصف شعبان أحاديث أخر متعددة وقد اختلف فيها
الأكثرون وصحح ابن حبان بعضها وخرجه في صحيحه ومن أمثلها (حديث عائشة قالت:
فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فاذا هو بالبقيع رافعا رأسه الى
السماء فقال: أكنت تخافين أن يخيف الله عليك ورسوله فقلت يارسول الله ظننت
انك أتيت بعض نسائك فقال: ان الله تبارك وتعلى ينزل ليلة النصف من شعبان
الى السماء الدنيافيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب) خرجة الامام أحمد
والترمذي وابن ماجه. (ابن رجب الحنبلي, لطائف المعارف. ص: 261)
“mengenai kautamaan malam nishfu sya’ban, ada sejumlah hadits yang
diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama menilanya dla’if.
Sebagian hadits-hadits itu dishahihkan oleh Ibn Hibban dan diriwayatkan
dalam shahih-nya. Hadits terbaik di antara hadits-hadits tersebut adalah
hadits ‘Aisyah yang berkata, “suatu ketika pada waktu giliranku Nabi
tidak berada di sisiku, lalu aku keluar mencarinya, ternyata belau ada
di makam Baqi’, sedang menengadah ke langit. Beliau berkata: ‘apakah
kamu khawatir Allah dan Rasul-Nya berbuat sewenang-wenang kepadamu?” aku
menjawab: ‘wahai Rasulullah, aku mengira engkau mendatangi sebagian
isteri-isterimu. Lalu Nabi bersabda, “sesungguhnya anugerah Allah turun
pada malam nishfu sya’ban ke langit dunia, dan Allah mengampuni
orang-orang yang jumlahnya melebihi jumlah bulu-bulu kambing suku Kalb
(banyak sekali),” hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Ahmad,
al-Tirmidzi dan Ibn Majah,” (al-Hafidz Ibn Rajab al-Hanbali, Latha’if al-Ma’arif, hal. 261)
- 4. Puasa Sya’ban
Sebagai bulan persiapan untuk menghadapi bulan Ramadlan, pada bulan
sya’ban dianjurkan unguk berpuasa. Rasulullah sangat memprhatikan puasa
bulan sya’ban, melebihi perhatian beliau pada puasa di bulan yang lain.
Di dalam hadits diceritakan :
عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت كان رسول الله صلى الله
عليه وسلم ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم استكمل صيام شهر قط الا
رمضان وما رأيته في شهر أكثر منه صياما في شعبان (صحيح مسلم, 2777)
Dari Aisyah, sesungguhnya ia berkata, “aku tidak pernah melihat
Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan
ramadlan. Sedangkan bulan sya’ban adalah bulan yang paling banyak belau
gunakan untuk puasa. (Shahih Muslim, 2777).
عن أبي هريرة عن أسامة بن زيد قال: قلت يارسول الله اني أراك
تصوم في شهر ما لا أراك تصوم في شهر ما تصوم فيه. قال أي شهر؟ قبت شعبان.
قال: شعبان بين رجب وشهر رمضان يغفل الناس عنه يرفع فيه أعمال العباد فأحب
أن لا يرفع عملي الا وأنا صائم. قلت: أراك تصوم يوم الاثنين والخميس فلا
تدعهما؟ قال: ان أعمال العباد ترفع فأحب أن لا يرفع عملي الاوانا صائم
(رواه البيهقي)
Dari Abi Hurairah, dari Usamah bin Zaid, ia berkata, “saya
bertanya, “wahai Rasulullah aku melihatmu berpuasa pada satu bualn yang
tidak sama dengan puasamu pada bulan-bulan yang lain. Rasulullah
bertanya, “bulan apa yang engkau maksudkan itu?” saya menjawab, “bulan
sya’ban”. Rasulullah bersabda, “sya’ban itu bulan di antara rajab dan
ramadlan yang banyak dilupakan oleh manusia. Padahal waktu itu semua
amal hamba diangkat, dan senang ketika amalku diangkat ketika aku sedang
berpuasa. Aku bertanya lagi, “aku juga melihatmu melaksanakan puasa
senin kamis, dan engkau juga tidak pernah meniggalkannya”. Nabi
menjawab, “pada hari itu amal semua hamba diangkat dan aku senang ketika
amalku diangkat ketika aku sedang berpuasa”. (HR. Baihaqi)
Berdasarkan hadits ini para ulama menyatakan kesunahan puasa pada bulan sya’ban. Imam al-Nawawi menjelaskan:
ومن المسنون صوم شعبان (النواوى, المجموع شرح المهذب. ج. 3, ص: 386)
Di antara puasa yang disunahkan adalah puasa di bulan sya’ban. (al-Majmu’, juz III, hal: 386)
Hasil kajian bedah buku “ARGUMEN AMALIAH DI BULAN SYA’BAN DAN
RAMADHAN” pada saat Konferensi Wilayah NU di SMP Progresif PP. Bumi
shalawat Sidoarjo bersama :
|
KH. Muhyiddin Abdusshomad. |