Rakatalenta.Com™, Tujuan hidup manusia adalah beribadah
kepada Allah SWT dalam situasi dan kondisi apapun. Namun akan menjadi catatan
penting, bahwa ibadah yang dilakukan manusia bisa ada nilainya di sisi
Allah SWT apabila disertai dengan hati yang tulus. Ikhlas tak ubahnya
ruh dalam setiap amal baik manusia. Sedikit dan banyaknya amal perbuatan
bukanlah tolak ukur bagi Allah SWT.
Maka, amal ibadah tanpa didasari
dengan hati yang ikhlas ibarat makhluk mati yang tidak bisa dipetik
manfaatnya. Terkait hal ini, dalam Kitab Al-Hikam Imam Ibnu Athoillah berkomentar: “Amal perbuatan bagaikan fisik lahiriah, sedangkan ruhnya adalah eksistensi ikhlas di dalamnya.”
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’anul Karim.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat
yang menuntut kita agar selalu ikhlas dalam ibadahnya. Antara lain,
Surat Al Bayyinah ayat 5. Pada ayat di atas terdapat kata “mukhlisin”
yang konotasinya bagi hamba-hamba Allah yang beribadah kepada-Nya.
Artinya dalam setiap ibadah manusia harus disertai dengan hati yang
ikhlas. Lantas, apakah ikhlas itu? Ikhlas ialah memurnikan segala amal
ibadahnya karena Allah SWT dan jauh dari pamrih, riya’ dan lain
sebagainya. Dalam sebuah kisah ada seorang melakukan kebaikan akan
tetapi dia berharap ada orang yang memuji dari setiap kebaikannya
kemudian Allah SWT menyerukan ayat :
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah
ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahfi: 110)
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata: “Inilah dua landasan perbuatan yang diterima oleh Allah SWT, yaitu ikhlas karena-Nya dan sesuai dengan sunnah rasul-Nya.” Dalam suatu kisah, ada seorang laki-laki datang seraya bertanya kepada Rasulullah Saw: “Wahai Rasulullah bagaimanakah pendapatmu tentang seseorang yang berjuang demi mendapatkan upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah Saw menjawab: “Dia tidak mendapatkan apa-apa!” Orang itu mengulangi pertanyaan itu sebanyak tiga kali dan Nabi Saw selalu menjawab: “Orang itu tidak mendapatkan apa-apa.” Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
إنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ العْمَلِ إلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابتُغِيَ بِهِ وُجْهُهُ(رَوَاهُ النَّسَائِيُّ)
“Sesungguhnya Allah tidak menerima perbuatan manusia kecuali dengan ikhlas dan dimaksudkan untuk mencari ridho Allah.” (HR. An-Nasa’i)
Ibnu Athoillah memaparkan, bahwa ikhlas terbagi menjadi tiga, yaitu:
- Ikhlasul Ubbad, yaitu mengerjakan suatu perbuatan hanya karena Allah semata tanpa riya’,
baik yang nampak maupun yang samar. Namun ia masih mengharap balasan
Allah seperti masuk surga dan jauh dari neraka. Di sisi lain ia juga
merasa bahwa dirinyalah pelaksana ibadah itu, tanpa menyadari bahwa
Allah SWT Sang Pelaku Haqiqi;
- Ikhlasul Muhibbin. Tingkatan ini melebihi dari yang pertama, dimana seseorang hanya beribadah atas dasar cinta dan ta’dzim
kepada Allah SWT, bukan karena takut neraka dan menginginkan surga.
Tetapi dalam kategori ini ia masih belum bisa menghilangkan kata “AKU”
dalam ibadahnya;
- Ikhlasul Arifin tingkatan ini merupakan totalitas
penghambaannya kepada Allah SWT dalam tingkatan ini ia benar-benar
menghadiahkan ibadahnya hanya kepada Allah SWT semata. Ia mengaku bahwa
ia tidak mungkin mampu melakukan segala sesuatu, kecuali karena Allah
SWT. Allah-lah aktor dari segala apa yang dikerjakannya. Tingkatan ini
merupakan tingkatan paling tinggi dalam penghambaan manusia.
Uraian Ibnu Athoillah di atas
menunjukkan bahwa manusia dimata Rabb-nya mempunyai tingkatan yang
berbeda-beda. Betapa luar biasa bagi manusia yang selalu ikhlas dalam
setiap ibadahnya. Dalam hadits Qudsi Allah menyatakan:
اَلْإِخْلَاصُ سِرٌّ مِنْ سِرِّي، اِسْتَوْدَعْتُهُ قَلْبَ
مَنْ أَحْبَبْتُ مِنْ عِبَادِي (رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ عَطَاءِ
الْهُجَيْمِيُّ)
“Ikhlas merupakan bagian dari rahasia-Ku yang Aku letakkan ke dalam hati hamba-Ku yang benar-benar aku cintai.”
Keikhlasannya merupakan suatu bukti
cintanya Allah kepadanya. Imam Ya’kub Al-Ma’kufi berkomentar tentang
ciri-ciri orang yang ikhlas, bahwa ia akan selalu menyembunyikan amal
baiknya sebagaimana menyembunyikan amal buruknya.
Kesimpulanya, ayat di atas menunjukkan
penegasan dari Allah SWT agar manusia selalu ikhlas dalam ibadahnya.
Amal ibadah seorang hamba dalam bentuk apapun tidak sempurna jika tanpa
disertai power ikhlas di dalamnya. Dibebaskan dari riya’ dan dijauhkan dari rasa ‘ujub. Sayyidina Umar bin Khattab ra selalu berdo’a:
اللهم اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا
“Ya Allah jadikanlah amal yang sholih, ikhlas karena mengharap ridhomu dan jangan jadikan di dalamnya bagian untuk siapapun.”
Jika ikhlas menjadi power hidupnya, ia
tidak akan pernah terbebani akan ibadah. Justru ia akan merasa nikmat
dengan ibadah yang diwajibkan kepadanya. Semoga kita ditakdirkan menjadi
orang yang ikhlas.
Oleh : Fauzi Azhar