Rakatalenta.Com™ Arsip berita online Indonesia, Beberapa mahasiswa Indonesia di Mesir susah pulang karena melakukan
"bisnis". Lumayan menguntungkan sih. Namun akibatnya beberapa
diantaranya menjadi molor lulusnya. Salahkah?
Makan malam di
rumah makan Bandung di distrik 7, Haisabik, Kairo, pas di hari natal
kemarin memang maknyus. Nasi ayam bakar bandung yang ditemani sambal,
segelas teh panas manis plus sebutir jeruk membuat lidah ini menari-nari
lalu bersendawa panjang. Cita rasa masakannya benar-benar ala
Indonesia: gurih campur pedas. Soal harga, dijamin masih dalam taraf
pantas dan murah, 16 pound Mesir, atau setara dengan Rp 27.500.
Bila
masih belum puas, jangan khawatir. Silakan menyantap bakso telor atau
bakso biasa. Di sana juga disediakan nasi ikan pindang, nasi ikan
balado, tomyam atau nasi goreng kampung. Untuk minumannya, ada segala
macam, mulai cendol hingga teh manis. Semua benar-benar fresh from the
oven. Dengan uang Rp 50 ribu sekali makan, dijamin masih ada
kembaliannnya.
Rumah makan Bandung dengan luas kisaran 60 meter
persegi itu bukan milik pebisnis besar Indonesia, namun "sahamnya"
dikuasai oleh dua mahasiswa Indonesia yang sedang mencari ilmu di Kairo,
Mesir. Kegiatan bisnis yang bisa dibilang tanpa izin tersebut memang
marak diantara pelajar dan tidak pernah dipermasalahkan oleh pemerintah
setempat. Bisa jadi hal itu karena hubungan baik kedua bangsa yang sudah
terjalin sangat lama.
Rumah makan Bandung baru berdiri dua
tahun, namun mampu bertahan di tengah gonjang-ganjing politik dan
ekonomi negeri piramid tersebut. Bagaimana tidak, pelanggan berasal dari
mahasiswa Indonesia dan Malaysia. Dengan 60-an pelanggan setiap
harinya, bisa diraup omzet kisaran Rp 2,3 juta per-hari dengan
keuntungan nyaris separuhnya. Sementara, sewa bulanan tempat ini kurang
dari Rp 4 juta.
Di Kairo saat ini, rumah makan mahasiswa
Indonesia seperti itu jumlahnya ada dua puluhan. Semuanya relatif tegak
berdiri dan cukup ramai dikunjungi pelanggan. Berbagai kreasi dilakukan,
mulai yang dibuat ala lesehan, hingga yang memasang karaoke. Meskipun
sederhana, tapi cukup memanjakan suasana Indonesia.
Menurut
Naufan, salah satu mahasiswa S2 di Al-Azhar University, motif dari
pendirian rumah makan memang berbeda-beda. Sebagian bermaksud untuk
menunjang kehidupannya selama studi, mencari untung, atau bahkan
diantaranya untuk mengisi tabungan. "Tidak hanya itu, terdapat pemikiran
bagaimana kalau usaha itu bisa dilegalkan karena bisa menjadi semacam
diplomasi perut yang dijalankan oleh mahasiswa yang sedang mencari
ilmu," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, jumlah WNI yang saat ini
masih bertahan di Mesir berjumlah 4.947 orang yang utamanya adalah
pelajar dan mahasiswa dan TKI informal. Mahasiswa Indonesia disana
umumnya alumnus dari pesantren dan madrasah aliyah dari berbagai tempat
di Indonesia dan saat ini kuliah di Univesitas Al-Azhar. Sebanyak 2.500
dari mereka bermukim di Kairo.
Meskipun banyak manfaatnya, bisnis
ini ditengarai menjadi salah satu momok bagi sebagian mahasiswa untuk
menyelesaikan kuliahnya dengan cepat. Menurut aturan Pemerintah Mesir,
mereka yang studi di tahun keempat akan senantiasa diberikan
perpanjangan beasiswa seberapapun lamanya jadi mahasiswa. Tidak pelak,
hal ini dimanfaatkan oleh banyak mahasiswa yang kemudian menjadi asyik
berbisnis. Banyak lupa kewajiban sekolahnya.
Ditengarai, tidak
sedikit mahasiswa Indonesia molor-molor kelulusannya karena asyik
menjadi pemandu wisata, berbisnis hingga rajin berorganisasi. Pemerintah
Indonesia terus mendorong agar mereka dapat menyelesaikan studinya agar
bangkunya bisa diisi oleh adik-adiknya dari Indonesia. Tidak hanya itu,
KBRI Kairo juga mengadakan pelatihan wirausaha bagi mahasiswa agar
ketika kembali ke tanah air bisa membangun bisnis yang yang lebih
mantap. Bukan sekedar bikin warung nasi yang sewaktu-waktu mudah
digusur. [
detikNews]